Friday, April 1, 2016

Di Dadamu



Suatu ketika, di sore hari yang cerah
kita menatap langit berwarna putih.
Kamu berkata,
"Ding, kamu lihat awan awan berarak  di sebelah timur itu?"
Aku hanya mengangguk, pikiranku sedang tidak sanggup mencerna indahnya langit sore itu.
Kamu lanjutkan tanya,
"Kamu tahu artinya?"
Aku menggeleng, sambil mataku kupalingkan pada dada telanjangmu yang mulai berirama tak beraturan.
Kamu tersenyum...
"Angin mulai berarak, mengantar awan menuju lautan. Nanti malam bulan lebih ramah pada nelayan. Itu artinya, beberapa hari lagi kita bisa membelikan anak anak kita ikan dengan harga lebih ramah".
Kuhela nafas dalam dalam hampir tak bersuara.
Andai kamu tahu yang kupikirkan bukan soal ikan. Tapi dadamu yang telanjang dengan nafas yang tersengal.
Jemarimu mencari jemariku, kusambut dengan getar hati yang tak menentu.
Kita mungkin tak pernah sama dalam mengolah rasa. Karena hadirnyapun dari arah yang berbeda.
Wajahmu yang tirus dengan mata yang sipit, menatapku lekat  tepat di manik mataku. Jemarimu makin menguat meremas jemariku.
"Bersabarlah, jangan membawa lagi berkas berkas itu ke rumah sakit. Sakitku tak bisa disembuhkan. Tuhan, sudah berbaik hati memberikan perpanjangan waktu untuk nyawaku, agar aku bisa merasakan kasih sayangmu dan melihat anak anakku tumbuh. Aku hanya menunggu waktu..." .
Nafasmu makin tersengal, dadamu makin berlari kencang.
Sambil tersenyum,  kubangkit, lalu mengelus dadamu perlahan, menggosok dengan balsam. Hingga matamu terpejam dan nafasmu beraturan.
Sesaat kemudian, di sini di kamar mandi. Kutenangkan diri, menahan hati.
Berkelebat wajah buah hati.
Aku harus kuat, aku harus lebih dari yang dulu menghadapi apa yang sudah tercatat.