اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّين
“Tunjukilah Kami jalan
yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada
mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang
sesat.” (Q.S. Al-Fatihah: 6-7)
Di persimpangan jalan seperempat abad yang
lalu. ..
Hujan dibulan Desember
makin menggigilkan tulang sepagi ini.
Tak sebanding dengan gigilnya hati yang hampir membeku. Kuterus berjalan
diantara kabut tebal pegunungan kota apel. Perih kurasa makin berdarah, namun
kutak tahu dimana letak pastinya perih ini. Hanya hangat air mata terus
menemani langkah, hingga kakiku sampai di pinggir bebatuan tebing. Mendongak ke
atas bicara pada yang tlah melibatkan aku dalam skenario cerita memuakkan.
Teriak kencang suara.
kumohonkan keadilanNya. Tak kupedulikan tangan membiru dan kaki kaku. Suara
makin parau tertiup angin kencang bersama hujan rintik yang tak mau diam sesaat
saja. Kuyup makin membungkus tubuh gigilku. Masih terlintas jelas, betapa
bedebah itu datang dan meminta. Betapa bedebah itu merajuk tak kenal ampun pada
ringkihku. Tuhan, dimana Kau …lagi, disaat seperti ini. Tak kah cukup puluhan
lalu ini semua Kau limpahkan pada masa kanakku?.
Kembali angin kencang datang. Kali ini bersama si laknat, yang mengintai dari balik pohon dekat pinggir jurang. Tersenyum penuh kemenangan. Terlihat siap pergi menangkapku dalam dekapannya. Mungkin ini lebih baik, dan mampu melepaskan
diriku dari jelaga. Aku tak berhak akan harapan baru. Aku menutup mata
perlahan, kilas balik smua yang sudah terjadi dalam kehidupanku selama ini bak
pemutaran film flashback. Sedetik kemudian, alur berlompatan ke masa kini. Traffik naik
turun membuat nafasku terengah. . Aku rasakan kepenatan berangsur pergi, ringan melayang. Gumpalan awan putih, membawa tubuhku sampai pada hamparan padang hijau.
Tuhan, aku datang.
Aku tak ingin jilatan api nerakaMu menikmati tubuhku, aku yakin surga tlah Kau persiapkan untukku. Entah dari pintu mana kukan langkahkan kaki tuk bersua denganMu. Apakah dengan mudah dan selamat, ketika kusebrangi jembatan shiraaathalmustaqimMu. Ku hanya mampu berharap, tanganMu kan meraihku bila titian rambut dibelah tujuh ini tak mampu kulalui dengan mudah., aku tak mampu lakukan apapun tanpaMu.
Biarkan semilir padang hijau ini membasuh lembut raga, semoga bisa menyapu jelaga sisa semalam. Biarkan menjadi tempat terdamai untukku. Dan kututup kisah kelam atas ijinMu.
Hingga waktu sekejap itu datang,
Biarkan semilir padang hijau ini membasuh lembut raga, semoga bisa menyapu jelaga sisa semalam. Biarkan menjadi tempat terdamai untukku. Dan kututup kisah kelam atas ijinMu.
Hingga waktu sekejap itu datang,
Kurasakan jemari lembut membelai wajahku. Mataku terbuka perlahan. Wajah seorang wanita tua berbaju putih. Ah, bukan ibuDi manakah Aku? tlah sampaikan aku di surga?.
Kusapu sekitarku dengan pandangan kebingungan. Tuhan, ternyata aku belum sampai pada takdir untuk berpulang padaMu. Ini hanya sebuah surau kecil. Sepasang suami istri tlah membawaku kemari, karena melihatku pingsan. Ucapan Alhamdulillah kudengar perlahan dari mulut mereka, ketika kutanyakan siapa mereka dan dimanakah aku. Lalu si ibu, membacakan surat al Fatihah.
0 comments:
Post a Comment