Monday, January 9, 2017

Tunjukkan Aku Jalan Yang Lurus




 
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّين


“Tunjukilah Kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.” (Q.S. Al-Fatihah: 6-7)



Di persimpangan jalan seperempat abad yang lalu. ..

Hujan dibulan Desember makin menggigilkan tulang sepagi ini.  Tak sebanding dengan gigilnya hati yang hampir membeku. Kuterus berjalan diantara kabut tebal pegunungan kota apel. Perih kurasa makin berdarah, namun kutak tahu dimana letak pastinya perih ini. Hanya hangat air mata terus menemani langkah, hingga kakiku sampai di pinggir bebatuan tebing. Mendongak ke atas bicara pada yang tlah melibatkan aku dalam skenario cerita memuakkan.

Teriak kencang suara. kumohonkan keadilanNya. Tak kupedulikan tangan membiru dan kaki kaku. Suara makin parau tertiup angin kencang bersama hujan rintik yang tak mau diam sesaat saja. Kuyup makin membungkus tubuh gigilku. Masih terlintas jelas, betapa bedebah itu datang dan meminta. Betapa bedebah itu merajuk tak kenal ampun pada ringkihku. Tuhan, dimana Kau …lagi, disaat seperti ini. Tak kah cukup puluhan lalu ini semua Kau limpahkan pada masa kanakku?.

Kembali angin kencang datang. Kali ini bersama si laknat, yang mengintai dari balik pohon dekat  pinggir jurang. Tersenyum penuh kemenangan. Terlihat siap pergi menangkapku dalam dekapannya. Mungkin ini lebih baik, dan mampu melepaskan diriku dari jelaga. Aku tak berhak akan harapan baru. Aku menutup mata perlahan, kilas balik smua yang sudah terjadi dalam kehidupanku selama ini bak pemutaran film flashback. Sedetik kemudian, alur berlompatan ke masa kini. Traffik naik turun membuat nafasku terengah. . Aku rasakan kepenatan berangsur pergi, ringan melayang.  Gumpalan awan putih, membawa tubuhku sampai pada hamparan padang hijau.

Tuhan, aku datang.
Aku tak ingin  jilatan api nerakaMu menikmati  tubuhku, aku yakin surga tlah Kau persiapkan untukku. Entah dari pintu mana kukan langkahkan kaki tuk bersua denganMu. Apakah dengan mudah dan selamat, ketika kusebrangi jembatan shiraaathalmustaqimMu. Ku hanya mampu berharap, tanganMu kan meraihku bila titian rambut dibelah tujuh ini tak mampu kulalui dengan mudah., aku tak mampu lakukan apapun tanpaMu.
Biarkan semilir padang hijau ini membasuh lembut raga, semoga bisa menyapu jelaga sisa semalam. Biarkan menjadi tempat terdamai untukku. Dan kututup kisah kelam atas ijinMu.
Hingga waktu sekejap itu datang,

Kurasakan jemari lembut membelai wajahku. Mataku terbuka perlahan. Wajah seorang wanita tua berbaju putih. Ah, bukan ibuDi manakah Aku? tlah sampaikan aku di surga?.
Kusapu sekitarku dengan pandangan kebingungan. Tuhan, ternyata aku belum sampai pada takdir untuk berpulang padaMu. Ini hanya sebuah surau kecil. Sepasang suami istri tlah membawaku kemari, karena melihatku pingsan.  Ucapan Alhamdulillah kudengar perlahan dari mulut mereka, ketika kutanyakan siapa mereka dan dimanakah aku. Lalu si ibu, membacakan surat al Fatihah.



0 comments: