Usai sholat maghrib inginnya Aku untuk sejenak membaringkan tubuh penatku. Tapi ingin itu urung karena putri sulungku memberitahuku bahwa ada mama mencariku. Yah..mama,dia bukanlah mamaku atau Ibuku. Mama hanyalah sebuah panggilan kepada tetanggaku yang beretnis Cina. Tubuh tuanya yang gemuk dan suaranya yang nyaring kerap terdengar di depan pintu memanggilku kala lama Aku tak terlihat olehnya.
"Bundaaaa...."Begitu dia memanggilku. Aku sering tertawa geli kalau mama sudah memanggilku seperti itu. Dihh...mang Aku bundanya mama...
Malam ini seperti hari hari sebelumnya,firasatku mengatakan pasti ada berita baru tentang dia dan suaminya. Tubuh lelahku menolak untuk menemuinya,tapi nuraniku tak mampu mengelak. Pikirku "mungkin malam ini dia butuh teman untuk bicara". Secara.. mama tak punya saudara di kota kecil ini. Suaminya sering bepergian entah ke Jakarte atau pulang ke kampungnya di Manado. Sedangkan empat orang anaknya telah menikah tinggal di kota lain. Mama sang perantau dan pekerja keras khas kaum etnik,mencari kerja tak mau berpangku tangan. Meski usia telah menginjak hampir 65 tahun,gigi yang sudah ompong. Namun jangan salah,gesitnya bukan main.
Sekilas Aku akan ceritakan profil sang Mama :
Mama tetanggaku,adalah penjual bunga kamboja kering. Tiap pagi dengan berseragam daster bermotif batik (selalu daster tanpa lengan)dia akan mendatangi penjual bunga dengan naik sepeda biru phoenixnya. Berselempang tas kecil berwarna coklat yang sudah dekil. Jangan salah ,biarpun dekil isi tas itu bisa berisi uang jutaan rupiah dah handphone Nokia.tipe terbaru. Tak perlu berkacamata bila dia hendak menghubungi penjual bunga kamboja yang sudah siap di pangkalan areal pemakaman di kota kecilku. Dia akan sibuk menghubungi dan membalas sms yang masuk di hapenya. Matanya masih tajam melihat tulisan,terlebih melihat uang...ah mama,,Kita punya kemiripan ya...:).
Malam ini seperti hari hari sebelumnya,firasatku mengatakan pasti ada berita baru tentang dia dan suaminya. Tubuh lelahku menolak untuk menemuinya,tapi nuraniku tak mampu mengelak. Pikirku "mungkin malam ini dia butuh teman untuk bicara". Secara.. mama tak punya saudara di kota kecil ini. Suaminya sering bepergian entah ke Jakarte atau pulang ke kampungnya di Manado. Sedangkan empat orang anaknya telah menikah tinggal di kota lain. Mama sang perantau dan pekerja keras khas kaum etnik,mencari kerja tak mau berpangku tangan. Meski usia telah menginjak hampir 65 tahun,gigi yang sudah ompong. Namun jangan salah,gesitnya bukan main.
Sekilas Aku akan ceritakan profil sang Mama :
Mama tetanggaku,adalah penjual bunga kamboja kering. Tiap pagi dengan berseragam daster bermotif batik (selalu daster tanpa lengan)dia akan mendatangi penjual bunga dengan naik sepeda biru phoenixnya. Berselempang tas kecil berwarna coklat yang sudah dekil. Jangan salah ,biarpun dekil isi tas itu bisa berisi uang jutaan rupiah dah handphone Nokia.tipe terbaru. Tak perlu berkacamata bila dia hendak menghubungi penjual bunga kamboja yang sudah siap di pangkalan areal pemakaman di kota kecilku. Dia akan sibuk menghubungi dan membalas sms yang masuk di hapenya. Matanya masih tajam melihat tulisan,terlebih melihat uang...ah mama,,Kita punya kemiripan ya...:).